Rabu, 09 November 2011

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA


BAB I
PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasiladan Undang-Undang Dasar 1945 yang benar-benar menjunjung tinggi hak asasimanusia serta menjamin warga negara bersama kedudukannya dalam hukum danpemerintahan yang tidak ada kecualinya, sedangkan untuk menjamin ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum adalah di tangan semua warga negara. Kejahatan tindak pidana merupakan salah satu bentuk “perilaku menyimpang” yang selalu ada melekat pada masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.
KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Kemudian pada tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk semua kejahatan. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik. Karena pada saat diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.
Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah “ Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana ( moord ), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dipidana karena pembunuhan dengan rencana”. Berdasarkan apa yang diterangkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa merumuskan pasal 340 KUHP dengan cara demikian, pembentuk undang-undang sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri. Untuk lebih lanjutnya akan dipaparkan dalam pembahasan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada perbuatan yang mengambil syarat-syarat tertentu berupa pidana.“Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan”:
v  Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau yang dilarang dengan disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
v  Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah direncanakan.
v  Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.
Secara umum hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Arti hukum positif adalah hokum yang berlaku pada suatu waktu tertentu dalam suatu masyarakat tertentu . Jadi hukum positif adalah hukum pidana yang diberlakukan oleh suatu masyarakat pada saat ini.

B.     Pengertian Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana sendiri adalah perbuatan atau tindakan melawan hukum yang berlaku, baik itu pelanggaran atau ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga tindak pidana perlu diatur dengan suatu norma hukum yang berupa sanksi agar dipatuhi dan ditaati.Pengertian tindak pidana menurut pakar-pakar hukum adalah sebagai berikut:

v  Simons
Adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab atas suatu
peristiwa pidana.

v  Sudarto
Tindak pidana adalah pelanggaran norma yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi.

v  Moeljatno
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dan barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.

v  Van Hamel
Merupakan suatu kelakuan manusia yang oleh undang- undang ditentukan sebagai kelakuan yang melawan hukum dan dapat dipersalahkan.





C.    Bentuk Tindak Pidana
1.   Tindak pidana mempunyai 2 sifat :
·      Formil
Tindak pidana ini yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU adalah melakukan perbuatan ( dengan selesainya perbuatan itu, tindak pidana terlaksana ).
·      Materiil
Dalam jenis tindak pidana yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang adalah timbulnya suatu akibat. (dengan timbulnya suatu akibat, maka tindak pidana terlaksana).

D.    Pengertian Kejahatan
Kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan dilarang, apa yang baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan, dan adat istiadat. Kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan. Kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang telah menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan.

E.     Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338 KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.
Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pasal 338 itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanan itu ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula nmerencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.
Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi didalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku ). Untuk pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna
membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya.
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung tiga unsur/ syarat :
·   Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.
·   Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.
·   Pelaksanaan kehendak ( perbuatan ) dalam suasana tenang.




F.     Pembunuhan berencana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur Subyektif:
§  Dengan sengaja
§  Dengan rencana terlebih dahulu
2.   Unsur Obyektif
§  Perbuatan : menghilangkan nyawa.
§  Obyeknya : nyawa orang lain

G.    Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana
Berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana, Pasal 340 disebutkan  bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pembunuhan berencana ialah pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding dengan orang lain atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kejam itu dimulainya.
Pembunuhan berencana merupakan suatu tindak pidana kejahatan. Pembunuhan berencana muncul dikarenakan oleh faktor-faktor antara lain yaitu :
1)      Unsur subjektif terdiri dari :
Ø Dengan sengaja
Ø Dengan terlebih dahulu
2)      Unsur objektif terdiri dari :
Ø Perbuatan: menghilangkan nyawa
Ø Objeknya: nyawa orang lain
Apabila salah satu unsur diatas terpenuhi maka seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Setelah ada bukti-bukti dan  saksi yang kuat maka pelaku tindak pidana dapat dituntut dipengadilan.


[1] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2002
[2] Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Akasara, Jakarta 1985, hal 54.
[3] Mustofa Abdulah-Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana. 1983, Ghalia Indah, Jakarta, hal 26
[4] Sudarto, Hukum Pidana 1, 1990, Yayasan Sudarto, hal 38.
[5] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana 1. Yayasan Sudarto,1980, hal 1.
[6] Sudarto, Hukum Pidana 1, 1990, Yayasan Sudarto,Ibid, hal 41.
[7] H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP buku II ), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung,1989
[8] H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP buku II ), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung,1989
[9] KUHP, Politea Bogor, 1988, hal 241.

Jumat, 04 November 2011

HUKUM AGRARIA (PERSENGKETAAN TANAH DI INDONESIA)

 
BAB I
PENDAHULUAN
Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah  sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau  kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan  faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri.
Negara agraris yang mengalami pola  pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan  yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu.
Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
·         Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
·         Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
·         Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).
 Pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

B.     Sifat Permasalahan Tanah Di Indonesia
Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait  dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya. Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan  patron-client  antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani.
Pada dekade tersebut, pola konflik  pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian  Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal.
Dengan demikian, pola konflik  agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah  konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria.
Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb.

C.    Hal-Hal Yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
D.    Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1. Mengenai masalah status tanah,
2. Masalah kepemilikan,
3. Masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
E.     Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Kekuatan Pembuktian, Secara umum mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Maka dari itu timbulah hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah yaitu: Pertama, disebabkan karena persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas. Kedua, disebabkan karena distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketiga, disebabkan karena Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Dalam penyelesaian sengketa tanah, diperlukan pembuktian guna meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan, dan harus memiliki kekuatan pembuktian sebagai berikut: Pertama, Kekuatan pembuktian formil. Kedua, kekuatan pembuktian materiil. Ketiga, kekuatan mengikat.